Purnama Utusan Iblis

12:35:00


“Apa yang akan kita lakukan setelah ini, Ki Dharma?” tanya seorang laki laki berusia sekitar 50 tahun dengan penuh rasa was-was.
            “Kita akan membuat semua orang di dunia mematuhi kita” jawab seorang kakek tua yang dipanggil dengan sebutan Ki Dharma itu. Ia mengenakan pakaian serba hitam yang khas dan sebuah jubah yang berwarna hitam juga berkibar tertiup angin dibelakangnya. Jika tak ada cahaya bulan yang samar-samar menerangi tempat itu, mungkin hanya rambutnya yang berwarna putihlah yang dapat terlihat diantara pohon dan semak.
            Tawa puas Ki Dharma dengan suara yang membahana menyusul jawaban sebelumnya yang ia utarakan pada seorang laki-laki yang bersamanya. Tawa itu. Tawa itu bisa membuat siapa saja yang mendengar menjadi takut dan ngeri. Fredy, yang sejak tadi tak sengaja menguping pembicaraan dua orang aneh ini mendadak merasa hal ganjil terjadi. Tawa Ki Dharma masih terdengar jelas dan semakin mengerikan. Seketika itu juga angin berhembus sangat kencang dan lebih kencang dari sebelumnya hingga membuat Fredy kedinginan.
            Cahaya yang menyilaukan turun dari langit dan membuat sebuah lingkaran besar di muka bumi. Hal ini membuat Fredy semakin takut dan penasaran dengan apa yang sedang terjadi, dan ia memberanikan diri untuk mendekati dua orang itu dengat tetap bersembunyi dibalik semak.
            Tampak sesuatu yang sangat menakjubkan disana. Fredy melihat sesosok mahluk yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Makhluk itu sangat besar, hampir sebesar gajah. Makhluk itu mengaum seperti singa. Bersayap seperti elang. Makhluk itu bertaring tajam seperti sebuah tombak dan mengeluarkan cahaya ungu kehitaman dari tubuhnya, seperti aura kejahatan. Makhluk itu dikelilingi makhluk-makhluk yang tak kalah aneh, namun ukurannya lebih kecil dan tidak mengeluarkan cahaya apa pun. Makhluk-makhluk kecil yang mengelilinginya hanya mendapat pantulan cahaya dari makhluk yang paling besar tadi.
            Ki Dharma, yang terlihat seperti seorang pemimpin, mendadak patuh pada makhluk itu dan mulai melafalkan mantra yang tak bisa Fredy dengar. Namun ia dapat melihat mulut Ki Dharma dan satu orang yang mendampinginya tadi berkomat kamit tanpa henti. Secara perlahan makhluk tadi menghilang dengan cahaya yang memudar menuju langit. Fredy semakin takut dan mulai berpikir untuk pergi meninggalkan semak itu.
            “Dunia akan segera menjadi miliku, Karja” ucap Ki Dharma pada laki-laki yang bersamanya itu. Mungkin Karja adalah pengikut setianya.
            Mendengar perkataan itu, Fredy sangat terkejut dan berniat untuk segera meninggalkan tempat itu. Fredy bebalik  mencoba berlari. Nasib baik tak sepenuhnya mendukung usaha Fredy. Ia menginjak sebuah ranting dan membuat sebuah bunyi “Krekk” yang membuat Ki Dharma sadar akan keberadaannya.
            “Sedang apa kau anak muda, tengah malam berkeliaran di hutan”. Suara itu mengagetkan Fredy. Dan benar saja, saat dia berbalik, kakek tadi sudah ada di depan matanya. Kakek ini tampak lebih menyeramkan jika dipandang dalam jarak dekat seperti ini. Hanya Ki Dharma yang ia lihat. Kemana laki-laki yang dipanggil Karja tadi? Tanyanya dalam hati.
.           .”Siapa kau?” tanya Fredy gemetar.
            “Aku adalah orang yang akan menguasai dunia. Hahahahaaa..........”. Kembali tawa itu memecah malam yang dingin. Dalam waktu sejekap, tawa itu hilang bersama sosok kakek tadi. Tiba tiba. Tangn Fredy dicengkram oleh sebuah tangan dengan kuku yang sangat tajam.
            “Kau harus menjadi pengikutku” suara itu terdengar jelas disamping telinga Fredy. Dia ketakutan dan berusaha melepaskan cengkraman tangan itu dan berlari secepat mungkin. Ia sudah tak peduli apa yang ia injak dan jalan mana yang harus ia lalui. Semua terlihat sama. Pohon tinggi dan juntaian akar gantung yang membuat siapa saja yang melihat menjadi ngeri.
            “Kau tak bisa lari” suara itu tetap terdengar sangat dekat di telinga Fredy dan dia tak ingin berbalik untuk menjadi pengikut sesat seorang iblis seperti Ki Dharma. Hingga akhirnya ia tiba di sebuah benteng batu dan tak ada jalan lain yang dapat ia lalui. Dia berbalik dan pasrah. Ki Dharma tertawa puas. Dalam ssekejap, kakek tua itu berubah menjadi makhluk yang sangat mengerikan dengan kuku-kuku tajam yang siap merobek mangsanya. Ia mendekati Fredy. Semakin dekat dan semakin dekat. Ia mengarahkan kuku-kukunya pada tubuh Fredy. Fredy berteriak sejadinya “Arghhhhhhhhhh”
            Fredy terbangun dengan napas yang terengah-engah dan keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya. “Cuma mimpi” ucapnya lega. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 08.15 pagi. Sejenak ia merenungkan mimpinya yang tarasa begitu nyata. Ia mengusap wajahnya yang bersimbah keringat dan menyadari keanehan dalam dirinya. Ia mendapat sehelai daun dari dahinya dan tangannya yang memerah. Ia kembali teringat mimpinya yang berada disebuah hutan dan tangannya dicengkram oleh seorang kakek yang lebih tepat disebut iblis. “itu gak mungkin, itu semua cuma mimpi”gumamnya
            Terdengar suara ponselnya berbunyi. Tanpa menunggu lama, ia segera meraihnya dan ternyata dia mendapat telpon dari orang yang sama sekali tak ia ketahui “Privat numbers” dengusnya kesal.
            “Hallo” tanya Fredy dengan suara yang parau. Mungkin karena ia baru terbangun dari mimpi yang aneh dan terasa begitu nyata. Tak ada jawaban sama sekali.
            “Hallo” suara Fredy terdengar mulai kesal. Tak lama terdengar bunyi tut tut tut tanda telpon terputus. Dia meletakan kembali ponselnya dan tak lama setelah itu, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
            “Kutunggu di hutan belakang kampus” kira-kira begitulah isi pesan yang diterima Fredy. “Siapa kau?” balas Fredy. Tak ada pesan balasan lagi yang masuk ke dalam ponselnya. Fredy memutuskan untuk segera bersiap pergi ke kampusnya.
*****
            “Fred, kenapa lo? Muka lo pucet bener. Tangan lo merah, lagi. Abis gadang ama nyamuk?” goda temannya yang bisa dibilang jail itu.
            “Gue abis mimpi buruk, No”. No adalah nama kecil teman Fredy yang satu ini, Rino.
            “Gitu aja dipikirin, orang mimpi cuma bunga tidur, udah lo tenang aja. Mending kita godain cewek cantik. Banyak tuh calon mahasiswa baru yang mau keliling kampus kita. Gue prihatin liat lo jomblo mulu” goda Rino. Fredy hanya menatap kosong di sebuah kursi taman yang ia duduki sejak tadi.
            Dari ujung taman, Redy melihat seorang gadis cantik dan berjalan ke arahnya.
            “Uhm, maaf. Kalo toilet disebelah mana ya?” tanya seorang gadis cantik --sepertinya dia  mahasiswi baru disini, atau mungkin calon mahasiswi baru--. Gadis itu memakai baju terusan berwarna merah dengan balutan celana jeans hitam yang membuat kakinya semakin terlihat sempurna. Rambutnya terurai panjang dan bergelombang.
            “Ditanya tuh Fred, diam mulu lo” ucap Rino seraya menyenggol badan Fredy agar ia segera menjawab pertanyaan gadis itu.
            “Eh, iya. Apa tadi?” tanya Fredy gelagapan.
            “Dia nanya toilet bego, lu gak denger apa tadi?” ucap Rino. Gadis itu hanya tersenyum.
            “Toilet ya? Itu. Disamping gedung utama juga ada” jawabnya dan ia menunjuk tempat yang dimaksud.
            “Oh, makasih” ucap gadis itu ramah.
            “Eh, iya” jawab Fredy singkat.
            Gadis itu segera pergi menuju toilet dengan sedikit berlari. Mungkin karena ia sudah kebelet. Setelah gadis itu pergi, suasana di tempat itu kembali hening. Rino, yang dari tadi berada di samping Fredy hanya menatap layar ponselnya dengan senyum yang menggelikan. Entah apa yang ia baca. Fredy kembali pada lamunannya tentang mimpi yang ia alami semalam. Ia tak bisa lepas dengan ucapan kakek tua yang disebut Ki Dharma itu. Ia teringat dengan pesan yang ia terima tadi pagi.
            “Lo tadi sms gue?” tanya Fredy memecah hening saat itu.
            “Oh, iya. Gue emang sms lo, tadinya gue mau ngajak lo ke hutan belakang kampus kita. Tapi gak jadi. Katanya di hutan itu ada hantunya" jelas Rino. Fredy merasa lenga dengan penjelasan yang ia dengar dari mulut Rino. Ia mendapat pesan dari Rino, bukan kakek tua yang semalam ia temui dalam mimpi buruknya.
            “Takut lo?” ucap Fredy meremehkan.
            “Gue cuma ngeri” jawab Fredy singkat.
            Tampak dua orang gadis menuju tempat duduk mereka. Satu orang sudah tak asing bagi mereka dan satu lagi gadis yang tadi menanyakan toilet pada Fredy.
            “Pagi sayang” sapa seorang gadis seraya memeluk Rino. Rino mengecup gadis itu.
            “Pagi juga sayang” jawab Rino tak kalah mesra.
            “Eh, kenalin. Ini keponakan gue, namanya Elyta” jelas gadis itu mengenalkan seorang gadis yang berdiri disampingnya.
            “Hay, aku Elyta” dia memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya. Sejenak Fredy menatap gadis ini dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tak ada cacat sedikit pun.
            “Eh, yang tadi ya?” tanya Fredy. Elyta hanya tersenyum memperlihatan giginya yang putih bersih dan berjajar rapi.
            “Gue Fredy” sambungnya seraya menjabat tangan Elyta. Fredy tak segera melepaskan genggaman tangannya dan mulai merasakan getaran aneh dalam dirinya. Mungkin jatuh cinta.
            “Udah kali salamannya, gue belom kenalan” ucap Rino memecah pikiran Fredy. Elyta hanya tersenyum dengan tingkah Fredy. Dan tampak Fredy memerah karena malu.
            “Gue Rino, pacar gadis paling cantik di kampus ini, Risty” ucap Rino memuji gadis yang tak lain pacarnya. Risty mencubit lengan Rino dengan gemas.
            “Awww” lengguh Rino. Elyta tersenyum melihat “teman barunya” yang aneh.
            “Eh, lo masih jomblo?” tanya Rino. Elyta hanya tersenyum malu.
            “Noh, orang yang duduk disamping gue juga jomblo, jadian aja. Baik kok, gak gigit” goda Rino. Tampak wajah Fredy dan Elyta memerah malu.
            “Eh, aku duluan ya, aku ada kelas sekarang” pamit Elyta.
            “Mau dianterin?” tanya Fredy spontan. Wajahnya memerah padam. Ia mulai kehilangan kendali. Elyta mengangguk. Fredy langsung berdiri dan mulai berjalan untuk mengantarkan Elyta ke kelasnya.
            “Kamu ambil jurusan apa?” tanya Fredy mencairkan suasana.
            “Mitologi Yunani” jawabnya singkat.
            “Belajar apa aja?” tanya Fredy.
            “Ya, banyak. Tapi kalo sekarang lagi bahas tentang dewa dewa dan hal mistis yang berhubungan dengan kehidupan dimasanya dulu” jelas Elyta.
            Hal mistis. Fredy mulai mengingat mimpi yang telah ia alami.
            “Kamu percaya sama hal mistis itu?” tanya Fredy.
            “Percaya gak percaya sih” jawabnya singkat.
            “Udah nyampe kak, makasih” ucap Elyta.
            “Eh, udah nyampe ya? Cepet amat. Eh, jangan panggil kakak, dong. Panggil Fredy aja” pinta Fredy.
            Elyta mengangguk dan tersenyum manis. Ia meninggalkan Fredy di depan  kelasnya. Fredy tak segera pergi. Ia tetap saja menatap gadis itu. Tanpa disadari, seoraang dosen berdiri disampingnya.
            “Ngapain kamu disini? Mau ikut kelas saya?” tanya dosen itu. Ia terlihat galak dengan suara yang khas seperti orang Batak.
            Fredy menggeleng dan langsung pergi meninggalkan kelas itu dan menuju kelasnya.
            Fredy adalah seorang mahasiswa jurusan geografi yang terbilang rajin. Ia selalu berkeliling untuk meneliti alam sekitar dan mengunjungi beberapa wisata alam yang masih natural dan cukup membahayakan. Naik turun Gunung, keluar masuk hutan dan menjelajah alam raya sudah tak asing baginya. Semua itu menjadi hiburan tersendiri. Tak jarang ia harus terluka karena melewati medan yang terjal dan cukup membahaya, namun ia tak menganggap itu sebagai masalah besar. Baginya, terluka adalah cambuk untuknya yang bisa merubahnya semakin kuat.
*****
            Usai kuliah, Fredy berjalan menelusuri jalanan malam, dibawah lampu jalan ia berdiri didampingi Elyta. Ia menatap penuh harap, begitupun seorang gadis yang berada disdekatnya. Mereka saling berhadapan.
            “Elyta, aku mencintaimu” ucap Fredy tiba tiba.
            Entah apa yang dirasakan elyta saat itu, ia terkesiap mendengar ucapan Fredy yang begitu hangat dan tulus itu. Elyta kembali memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi.
            “Begitupun aku” hanya jawaban itu yang keluar dari mulut Elyta.
                        Jawaban ini sangat dinantikan oleh Fredy. Ia benar-benar senang mendengar jawaban itu. Fredy menggenggam tangan Elyta. Tubuh mereka semakin dekat. Hembusan napas yang memburu semakin terasa oleh mereka. Semakin dekat dan bertambah indah dibawah cahaya lampu yang temaram menambah kesan romantis.
                        “Hayo, mikirin apa lo siang bolong gini?” ujar Rino mengagetkan.
                        “Hampir aja gue dapet ciuman pertama sama Elyta” dengus Fredy kesal.
                        “Mikirin Elyta mulu lo. Udah, kalo suka, lo tembak aja. Keliatannya dia juga suka sama lo” goda Rino.
                        “Gue punya rencana bagus buat nembak dia, gue minta lo bantuin gue ya” pinta Fredy.
                        “Ya, lah, entar gue bantu. Tapi harus ada imbalannya ya” goda Rino lagi.
                        “Gue ngarti. Entar lo sekalian ajak tuh pacar lo” jawab Fredy.
                        Mereka mengakhiri pembicaraan mereka dan pulang. Kali ini mereka sengaja gak nongkrong dulu, karena Fredy akan menyiapkan rencana buat nembak Elyta. Sebelum pulang, ia menyempatkan iri untuk sekedar membeli makanan dan minuman. Maklum, ia hanya tinggal sendiri di kota ini. Orangtuanya bekerja di luar kota.
                        Ia segera memasuki sebuah restoran cepat saji yang cukup terkenal di kota itu. Ia memesan beberapa makanan an minuman untuk ia bawa pulang. Kebetulan, malam ini ia harus begaang untuk menyelesaikan tugas presentasinya besok.
                        Hari semakin gelap, Fredy segera membayar semua makanan dan minuman yang ia pesan. Ia segera melesat pergi meninggalkan restoran cepat saji itu dengan mobilnya. Di tengah perjalanan menuju rumah, kembali ia mendapat sebuah panggilan telpon.
                        “Hah, privat numbers lagi. Kurang kerjaan banget sih” gerutu Fredy.
                        “Hallo, maaf anda siapa? Apakah saya mengenal anda?” tanya Fredy sopan.
                        Tak ada jawaban sepatah kata pun. Fredy semakin kesal. Tak lama, Fredy mulai mendengar tawa yang tak asing lagi baginya. Bukan! Tawa itu bukan terdengar dari telpon. Tawa itu terdengar sangat dekat dengannya. Entah darimana asal suara tawa itu. Yang jelas, tawa itu sangat dekat dan sangat mirip dengan suara tawa Ki Dharma. Suara tawa Kakek itu semakin jelas terdengar. Dan tiba tiba, mobil yang dikendarai Fredy kehilaangan kendali. Hampir ia menabrak sebuah batu besar yang bertengger di sisi kanan jalan. Namun, Fredy segera membanting stir dan berhasil menghindari batu itu.
                        “Ngggeounggg” suara kucing yang kesakitan.
                        Sejenak Fredy menghentikan laju mobilnya. Ia turun dan berjalan menuju belakang mobilnya. Fredy sangat kaget dengan apa yang ia lihat. Seekor kucing berwarna hitam mati karenanya. Keadan kucing itu sudah sangat hancur. Mungkin karena Fredy mengendarai mobilnya dengan sangat cepat.
                        Tawa itu terdengar lagi. Bulu kuduk Fredy mulai merinding. Ia memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan pulangnya. Hari semakin gelap, dan jika terlalu lama dia di hutan pinus yang semakin gelap dan menyeramkan.
                        Fredy segera memasuki mobil dan melaju dengan cepat menuju rumahnya.
                        Setibanya di rumah, ia segera memarkir mobilnya dan pergi mandi. Setelah itu, ia mulai memakan makanan yang ia beli tadi. Fredy kembali teringat dengan kejadian di hutan pinus tadi dan membuatnya tak bernafsu makan lagi. Ia memutuskan untuk menonton televisi. Fredy menekan remote televisinya untuk mencari tayangan yang menarik. Fredy menyenderkan tubuhnya di sofaa yang ia duduki. Seketika listrik di rumah itu mati.
                        “Sial! Pake mati segala lagi ni listrik” dengusnya.
                        Fredy segera mencari penerangan di rumah itu  Ia pergi ke apur dan menemukan sebuah lilin dan ia pun langsung menyalakan lilin itu. Ia mulai berfikir semua ini karena ia melindas seekor kucing hitam tadi. Menurut mitos yang beredar di lingkungannya, melindas seekor kucing sampai kucing itu mati akan membawa kesialan bagi pelakunya.
                        “Kucing sialan” dengusnya kesal.
                        Tiba-tiba lilin yang ia nyalakan tadi mati. Angin terasa lembut menyapa. Bulu kuduk Fredy mulai berdiri lagi, ditambah bau anyir yang samar-samar tercium olehnya. Semua makin ganjil. Dan sedetik kemudian, semua kembali terang. Namun itu bukan rumahnya. Tempat ini sangat asing baginya.
            “Dimana ini?” tanyanya dalam hati
            “Kau berada di dunia kami anak muda” suara seorang laki laki paruh baya tiba-tiba.
            “Siapa kau?” tanya Fredy heran.
            “Aku adalah orang yang telah dilumpuhkan oleh Ki Dharma. Kau harus menolong semua manusia di bumi ini. Kau tahu Ki Dharma? Dia akan menguasai dunia ini saat bulan purnama bulan ini tiba.  Ia juga akan membuat kesengsaraan bagi semua manusia. Kau harus menolong mereka” pinta laki-laki paruh baya itu.
            “Kenapa harus aku? Aku hanyalah manusia biasa yang tak tahu apa-apa. Aku juga tak mengerti dengan semua yang sedang terjadi saat ini. Ki Dharma hanyalah bunga tidur di mimpiku. Dan sekarang aku juga pasti sedang bermimpi” jawab Fredy.
            “Tidak anak muda, ini bukan mimpi. Aku membawamu ke masa lalu. Aku telah tewas oleh ki Dharma. Aku sudah tidak bisa melawannya di dunia nyata. Aku percayakan padamu untuk melawan Ki Dharma” ucap laki-laki itu.
            “Aku pun tak tahu siapa kau?” ucp Fredy sekali lagi.
            “Aku Wira. Ambil ini, belati ini akan berguna untuk membantumu melawan Ki Dharma. Dan saat kau kembali ke dunia nyata, kau akan mewarisi semua ilmuku” jelas laki-laki bernama Wira.
            Fredy menerima sebuah belati kecil yang terlihat sangat kuno. Ia menggenggamnya. Tak lama, laki-laki bernama Wira itu perlahan menjauh dan mengeluarkan cahaya putih yang menyilaukan. Laki-laki itu tersenyum ramah. Semakin lama, cahaya itu semakin menyilaukan. Fredy menutup mata dengan tangannya. Setelah ia merasa bahwa cahaya itu sudah hilang, ia melepaskan tangannya yang ia gunakan untuk menutupi mata. Dia kaget bukan main, dia telah kembali ke dunia nyata, tepat posisi terakhir dia saat akan menyalakan kembal lilin. Namun, listrik suah menyala, korek yang tadi ia gunakan untuk menyalakan lilin pu hilan bersama lilin yang ia genggam. Kini ia menggenggam sebuah belati kecil pemberian laki-laki bernama Wira tadi.
            Tangan Fredy gemetar menggenggam belati itu, tampak cahaya putih kebiruan terpancar sekejap dari belati itu. Ini tampak aneh. Ia menginggat baha Ki Dharma akan menguasai dunia saat bulan purnama di bulan ini tiba, itu artinya tinggal beberapa saat lagi. Fredy juga kembali mengingat pertemuannya dengan Ki Dharma. Iya. Dia mengingatnya. Ia bertemu di sebuah hutan yang ia yakin jika itu adalah hutan dibelakang kampusnya. Semua semakin masuk akal. Ia mimpi bertemu dengan Ki Dharma, seorang iblis yang menjelma manusia.Ia juga bertemu dengan Wira, orang yang dilumpuhkan Ki Dharmakarena berusaha menggagalkan rencananya. Ia merasa ragu dengan kepercayaan Wira untuk mengalahkan Ki Dharma. Tapi ia wakin bahwa saat ia kembali ke dunia nyata ia akan mewarisi kekuatan yang dimiliki Wira.
            Fredy melangkah keluar rumah, tampak bulan sabit melengkungkan senyumnya. Fredy menerawang dan membayangkan apa yang akan ia lakukan untuk melawan Ki Dharma. Ia sungguh awam dalam dunia pertarungan.
            “Mungkinkah hanya dengan belati yang ia genggam Ki Dharma kan kalah?” pertanyaan itu muncul begitu saja dalam pikirannya. Dering ponsel mengalihkan perhatian Fredy, ia kembali ke ruang tengah untuk mengambil ponselnya.
            Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak ia kenali sebelumnya.
            “Malam kak. Lagi ngapain?” begitulah isi pesan yang ia baca.
            “Siapa?” balas Fredy singkat.
            “Elyta” balasnya tak kalah singkat.
            Elyta. Membaca sebuah nama yang tertulis di pesan itu, Fredy merasa senang dan sejenak melupakan masalahnya untuk melawan Ki Dharma. Fredy merasakan bahwa Elytta juga menyukainya, sama seperti dirinya menyukai Elyta.
            “Eh, kamu Elyta. Kirain siapa. Aku lagi mikirin kamu, hehe. Kamu sendiri lagi ngapain? Fredy membaca pesan yang akan ia kirimkan pada Elyta secara berulang-ulang sebelum akhirnya ia menekan tombol send.
            “Sama” balas Elyta singkat.
            Bagai terbang tinggi, ia tersenyum sendiri membaca balasan yang ia terima dari Elyta. Mereka saling berbalas pesan hingga malam semakin larut dan Fredy tertidur dengan sendirinya.
            Kembali Fredy bermimpi bertemu dengan Ki Dharma. Kali ini, ia melihat Ki Dharma sedag melakukan suatu ritual yang tak lazim. Ia melihat Ki Dharma memakai sehelai kain berwarna hitam yang dililitkan di tubuhnya dan sebuah ikat kepala yang berwarna hitam juga. Ki Dharma duduk bersila diatas pucuk pohon yang sangat kecil. Tanpa disadari Fredy mendapati dirinya memakai pakaian kuno dan seang meniti di sebuah pucuk pohon. Ia sangat kaget mengapa ia bisa melakukan ini. Namun ia tersadar, mungkin ini adalah ilmu yang diwariskan oleh Wira padanya.
            Fredy tak melepaskan pandangannya sedetik pun dari Ki Dharma, ia melihat Ki Dharma memutar mutarkan sebuah cahaya yang memanjang seperti tongkat di udara. Cahaya itu dapat digenggam oleh Ki Dharma. Fredy mulai mengira-ngira kegunaan tongkat itu. Secara tak sengaja ia melihat tongkat itu menyentuh sebuah pohon dan sedetik kemudian pohon itu hancur tak berwujud. Fredy meyakinkan bahwa itu adalah senjata andalan Ki Dharma.
            Fredy juga melihat bahwa tongkat itu bisa berubah menjadi makhluk yang sangat mengerikan. Makhluk itu seperti harimau bersayap dengan kuku-kuku tajam bagai elang. Matanya memancarkan sinar kemerahan dan suaranya mengaum menggetarkan semua daun yang tumbuh disana. Makhluk itu tampak sangat marah pada Ki Dharma. Entah apa yang telah terjadi. Makhluk itu terus saja berputar dan meronta pada Ki Dharma seolah seekor kucing yang meminta makan pada tuannya. Ki Dharma mengeluarkan sebuah benda yang dibungkus oleh sehelai kain berwarna hitam. Ia melemparkan bungkusan itu dan makhluk tadi mengejarnya, kemudian hilang. Ki Dharma tampak puas dengan apa yang telah ia lakukan, tanpa berpikir panjang, Fredy memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu. Namun ia tak menemukan jalan untuk ia kembali, ia hanya berjalan berputar-putar di hutan itu. Selang beberapa lama, ia mendengar sura yang tak asing baginya.
            “Kemarilah” pintanya.
            Itu adalah suara Wira yang sedari tadi memperhatikannya. Fredy menekati Wira dan bertanya apa yang sedang terjadi.
            “Ki Dharma telah memperbudak dewa kematian untuk membantunya menjalankan rencana mengambil alih kekuasaan dunia. Ia akan memanfaatkan makhluk itu untuk membuat kehancuran dan malapetaka. Ingat, jangan pernah kau menatap mata Ki Dharma barang sedetik pun” jelas Wira panjang lebar.
            “Mengapa demikian?” tanya Fredy penasaran.
            “Matanya menyimpan dendam yang sangat mengerikan. Matanya dapat membuat semua orang yang menatap matanya terjebak dalam ilusi dan mungkin tewas seketika jika ia menginginkannya” jawab Wira. “Bersiaplah untuk melawan kejahatan di bumi ini” tambah Wira seraya pergi.
            Fredy terbangun, ia bermimpi kembali dan terasa sangat nyata. Ia teringat harus mengerjakan tugas untuk presentasinya besok. Ia melirik jam diding.
            “Masih jam setengah 1 pagi” gumamnya.
            Ia pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya suapaya rasa kantuknya hilang. Setelah itu ia pergi ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Ia melihat sebuah belati tergeletak begitu saja di meja makan. “Mungkin tadi aku lupa” begitu pikirnya. Ia mengambil benda itu dan menyimpannya dengan baik di sebuah kotak dalam lemarinya.
            Fredy menegak segelas kopi yang ia buat tadi. Namun rasa kantuk tetap saja datang padanya. Ia teringat bahwa tadi ia sedang berbalas pesan engan Elyta. Segera a mengambil ponselnya dan terdapat pesan baru yang belum dibaca.
            “Kamu kemana? Udah tidur ya? Begitu pesan terakhir yang ia baca.
            “Maaf, tadi aku ketiduran” Fredy mengetik kalimat itu di ponselnya. Ia membacanya kembali. Namun, ia berpikir bahwa Elyta sudah tidur dan akhirnya dia menekan tombol cancel.
            Fredy mulai kembali pada laptopnya untuk membuat ringkasan materi yang akan ia presentasikan besok. Ia mulai mengetik kata demi kata dan mulai terdengar suara lolongan anjing yang cukup lama. Ia mulai tak bisa berkonsentrasi engan apa yang ia kerjakan. Suara lolongan anjing itu sangat mengganggunya.
            Fredy berusaha berkonsentrasi untuk mengerjakan tugasnya yang sedikit lagi selesai. Ia memakai earphone agar ia tak bisa mendengar lolongan anjing itu. Frdy berusaha untuk menyelesaikan tugasnya secepat mungkin.
            Trok trok trok. Terdengar suara sesuatu menghantam kaca jendelanya. Ia menghiraukannya dan kembali fokus dengan tugasnya. Trok trok trok. Suara itu terdengar kembali. Ia kembali menghiraukannya. Trok trok trok. Untuk ke tiga kalinya ia  memaksakan diri untuk melihat apa yang terjadi. Ia berjalan ke arah jendela dan sesuatu yang ganjil kembali dilihat olehnya. Ia melihat sesosok laki-laki berpakaian hitam duduk dan memperhatikan ke arahnya dengan tatapan penuh dendam. Ia tak bisa mengenali siapa laki-laki itu karena diluar sana sangat gelap. Ia segera menutup tirai jendelanya rapat rapat dan segera mematikan laptopnya, kemudian pergi tidur. Namun ia tak bisa tidur karena takut jika ia harus bertemu dengan Ki Dharma dalam mimpi. Atau mungkin laki-laki yang diluar tadi adalah Ki Dharma? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.
*****
            Seperti biasa, pagi ini Fredy bersiap untuk pergi ke kampusnya. Ia sengaja bangun lebih pagi untuk mencuci mobilnya terlebih dulu. Untuk menarik perhatian Elyta pikirnya. Ia segera mengambil selang untuk mencuci mobinya. Ia mengambil salah satu ujungnya untuk dipasangkan pada sebuah kran yang terletak dihalaman depan rumahnya. Saat ia memasangkan selang pada kran, ia melihat bekas cakaran-cakaran pada rumput an pohon depan rumahnya. Mungkinkah anjing yang melolong semalam bermain disini? pikirnya. Karena memang rumah ini tak dipasang pagar dan langsung bersebelahan dengan rumah tetangganya.
            “Nyuci mobil Fred” sapa seorang yang aku kenal. Tapi baru kali ini dia menyapaku lagi setelah dia kalah dalam tantangan mendaki gunung beberapa tahun lalu.
            “Eh, iya Frank. Pagi-pagi gini mau kemana? Udah rapi aja” tanya Fredy ramah disertai senyuman yang manis.
            “Olahraga pagi, biar sehat” jawabnya singkat seraya pergi dengan berlari kecil.
            Frankie memang seorang teman yang cukup dekat dengan Fredy dulu. Mereka sangat berteman baik, apalagi saat masa SMA. Tapi, setelah ia menantang Fredy untuk mendaki gunung dan siapa saja yang sampai di puncak duluan itulah yang jadi pemenangnya. Saat itu Frankie memang sangat bersemangat untuk memenangkan tantangan itu hingga ia meremehkan Fredy agar ia menjadi patah semangat.
            Saat perjalanan menuju puncak, Frankie mencari jalan pintas agar lebih dulu sampai puncak dan mengalahkan Fredy. Namun takdir berkata lain, Frankie tersesat dan berhasil menemukan jalurnya kembali setelah setengah hari berkeliling di tepi-tepi gunung.
            Mereka yang mendaki gunung bersama Fredy mencapai puncak selama dua hari satu malam. Sedangkan Frankie dan sebagian mahasiswa lain ikut bersamanya tersesat di hutan, mereka mencapai puncak setengah hari lebih lambat dari Fredy dan teman-temannya. Akhirnya Fredy memenangkan tantangan itu. Karena memang saat itu ia yang memimpin untuk jalan menuju puncak. Frankie merasa dirinya terhina oleh kemenangan Fredy dan ia tak pernah menyapa Fredy hingga beberapa tahun lamanya . Tadi adalah kali pertamanya Frankie menyapa Fredy semenjak Frankie dikalahkan oleh Fredy.
            Fredy terus memandang Frankie yang semakin jauh dan mulai hillang dari pandangan. Ia sangat mengingat semua kejadian itu. Kejadian saat Frankie mendapatinya sampai di puncak terlebih dahulu. Kemarahan Frankie tampak saat itu, ia sangat marah dan benar-benar marah. Entah karena ia terkalahkan atau karena ia malu. Namun, saat ini,Fredy telah mengganggap Frankie telah kembali seperti Frankie yang seperti dulu. Frankie temannya dulu.
            Kembali Fredy teringat tujuan utamanya ke halaman rumah, ia akan mencuci mobilnya. Ia mulai memasang selang dan menyalakan kran airnya. Fredy kembali ke samping rumahnya untuk mulai mencuci mobil. Ia segera menyemburkan air dari selang yang ia pegang ke seluruh permukaan mobil dan mulai mencucinya dengan cairan pembersih kendaraan. Ia bersiul untuk sedikit mencairkan suasana yang sangat sunyi itu.
            Setelah selesai dengan pekerjaannya mencuci mobil. Fredy kembali ke kamarnya untuk bersiap pergi ke kampus. Fredy mandi sedikit lebih lama dari bisanya, mungkin karena sudah ada Elyta dalam hidupnya. Tak biasanya ia mandi dengan waktu selama ini. Cinta memang dapat membuat kebiasaan seseorang menjadi berubah.
            Fredy keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan sehelai anduk yang dililitkan di tubuhnya. Anduk itu hanya dapat menutupi tubuhnya dari pusar hingga lutut. Ia beriri di depan cermin yang cukup besar. Samar samar ia melihat wajahnya menyerupai Wira. Semakin lama ia tatap wajahnya, semakin miriplah mereka. Mungkin karena itu juga Wira mempercayakan tugas yang tak bisa ia tuntaskan pada Fredy.
            “Mungkinkah aku adalah reinkarnasi dari Wira?” pertanyaan itu muncul begitu saja dalam pikirannya.
            Fredy segera menghilangkan semua pikirannya mengenai Ki Dharma, Wira, atau apa pun itu. Ia segera berpakaian dan menyiapkan tugas yang akan ia presentasikan hari ini. Ia teringat pada belati pemberian Wira. Ia berpikir mungkin belati itu akan berguna untuknya jika ia selalu membawanya kemana pun. Ia meletakan belati itu ke dalam tasnya. Fredy segera melenggang pergi menuju mobilnya untuk ia gunakan sebagai alat transportasi sehari harinya.
*****
            Presentasinya berjalan lancar. Fredy mendapatkan tepuk tangan dan pujian dari dosennya tanpahenti. Ia sangat puas dengan apa yang ia kerjakan, juga dengan keberaniaanya mempresentasikan tugasnya di depan kelas. Sebelumnya, Fredy memang tergolong mahasiswa yang rajin. Namun, ia sangat sulit untuk berbicara i depan orang banyak. Entah keajaiban apa yang ia dapat, ia dapat berbicara di depan seluruh rekan mahasiswa dan dosennya dengan sangat percaya diri. Ia sendiri tak percaya ia dapat melakukan itu. Tapi itu semua telah terjadi dan membuat pandangan semua orang berubah padanya. Kini, Fredy adalah sosok mahasiswa yang sangat sempurna dimata rekan-rekannya.
            Mata kuliah hari ini telah selesai. Fredy langsung menuju kantin yang terletak di ujung taman kampus ini. Dia duduk di kursi yang melingkari sebuah meja dengan benda seperti payung raksasa yang digunakan untuk meneduhkan pengunjung kantin agar tidak kepanasan. Hari ini cukup bersahabat dengannya. Angin bertiup dengan lembut dan membawa kesejukan pada dirinya. Sejenak ia memejamkan mata untuk sekedar menikmati suasana tesebut.
            “Maaf, Den. Mau pesan apa?” tanya seorang laki-laki yang mencoba menariku kembali ke alam nyata. Laki-laki itu terlihat sudah cukup sepuh untuk bekerja melayani para mahasiswa di kampus ini. Ia adalah seorang pekerja di kantin kampus ini.
            “Nasi goreng sama es teh manis aja, Mang” jawab Fredy seraya tersenyum. Ia merasa iba melihat laki-laki tua itu hilir mudik melayani para pembeli. Tak jarang juga ia mendapat caci maki dari mahasiswa yang tak bermoral hanya karena laki-laki ini terlambat menyajikan makanan yang mereka pesan.
            “Mang, cepet dong! Gitu aja lelet. Kalo udah ngerasa gak sanggup kerja, mending berhenti aja keja disini. Cari kerjaan lain” cerca seorang gadis pada laki-laki itu dengan  angkuh.
            Fredy hanya menatap kejadian itu dengan diam dan tak berkomentar apa pun. Ia tahu bahwa perempuan itu terkenal sangat sombong di kampusnya. Ia tak segan-segan melawan siapa saja yang tak sejalan dengannya, dosen sekali pun ia lawan. Fredy teringat dengan satu kejadian dimana dia melihat gadis bernama Ferrina itu mencaci dosennya karena ia tak mau menerima uang suapan agar nilainya bagus. Dosen itu tak terima dan berbalik memarahi Ferrina. Semua terjadi begitu saja, dosen itu menampar Frerrina dan dengan maksud membela diri, Frerrina mendorong dosen itu hingga terjatuh dari lantai dua dan mengalami kelumpuhan hingga saat ini. Fredy hanya menyimpan kebenaran pahit itu hingga saat ini tanpa seorangpun yang tahun selain dia dan sang pelaku.
            “Ini nasi goreng dan es teh manisnya, Den” suguh laki laki tua yang bernama Mang Kadir.
            “Wah, kayaknya enak banget, nih” pujiku pada Mang Kadir. Karna selain masakannya memang enak, ia juga sangat ramah. Semua masakannya dibuat dengan bumbu bernama cinta katanya.
            “Silahkan, Den. Saya kebelakang dulu” pamit Mang Kadir.
            “Disini aja dulu, Mang. Makan bareng saya, ini kayaknya kebanyakan deh buat dimakan sendiri” pinta Fredy.
            “Maaf, Den. Saya harus kembali ke belakang” pamitnya sopan.
            Fredy tak bisa memaksanya untuk tetap disini. Karena memang semakin siang, semakin ramai mahasiswa yang mampir kesini.
            Fredy meulai menyantap nasi goreng yang disajikan Mang Kadir. Ia melahapnya dengan rakus karena ia belum sempat sarapan pagi tadi.
            “Laper banget ya?” tanya seorang gadis yang sangat ia kenali. Suaranya lembut dan wangi parfum yang ia kenakan sangat khas. Elyta.
            “Eh, iya. Aku belum sarapan. Kamu mau juga? Pesen aja. Nanti sekalian aku bayar” ucap Fredy.
            “Gak usah, kamu aja yang makan. Aku udah makan, kok” ia menolak tawaran Fredy.
            Fredy segera menyelesaikan makannya dan menegak segelas es teh dihadapannya. Fredy mulai membuka pembicaraan.
            “Hmpt, lusa ada acara kemah di hutan belakang kampus kita. Kamu ikut?” tanya Fredy. Ia berharap mendapat jawaban “iya” dari bibir Elyta.
            “Iya, aku juga ikut” jawaban itu terlontar dari mulut Elyta yang sukses membuat wajah Fredy menjadi sumringah seketika.
            “Eh, kamu masih lapar? Aku bawa bekel ari rumah, buatan aku sendiri, loh” tawar Elyta seraya menyodorkan sekotak makanan berwarna hijau. Ia membuka tutup kotak makanan yang di dalamnya terdapat beberapa potong sandwich dan beberapa saus sachet.
            “Beneran buat aku?” tanya Fredy setengah tak percaya.
            “Iya, aku emang bawa itu semua sengaja buat kamu” jawab Elyta.
            Fredy menyantap sandwich buatan Elyta itu dengan lahap. Namun bukan Fredy namanya jika ia tak memakan makanan tanpa sambal.
            Fredy mengambil satu sachet saus dan berusaha membukanya. Karena tangannya licin oleh mayones yng dioleskan pada sisi roti. Ia teringat bahwa ia mambawa sebuah belati pemberian Wira. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil benda tersebut dari dalam tasnya dan dalam satu tusukan saja, kemasan pembukus saus itu sobek dan cairan kental berwarna orange kemerahan itu meleleh di jarinya. Ia mengambil tissu untuk membersihkan jari dan belatinya. Elyta mendadak kaget melihat Fredy menyobek kemasan plastik saus itu dengan sebuah belati. Dari arah belakang datang Mang Kardi yang tak kalah kaget melihat sebuah belati yang dipegang oleh Fredy.
            “Itu belati antik ya, Den?” tanya Mang Kadir sopan.
            “Iya” jawab Fredy singkat.
            “Bagus belatinya” puji Mang Kardi, Fredy tersenyum mendengar pujian laki-laki itu.
            “Boleh saya ambil gelas dan piringnya, Den?” sambungnya sopan.
            Fredy hanya mengangguk. Ia melihat Elyta terlihat gusar aat itu.
            “Kamu kenapa? Sakit?” tannya Fredy penasaran.
            “Hmpt, aku gak papa, kok. Aku sehat-sehat aja” jawabnya menangkis perkiraan Fredy. Fredy hanya mengangguk mendengar penjelasan itu sebagai tanda bahwa ia mengerti.
            “Eh. Aku duluan,ya. Aku baru inget kalo aku ada kelas sekarang” pamitnya seraya pergi dengan tergesa.
            Elyta segera pergi dengan terburu, mungkin saat ini ia harus menghadiri dosen yang galak dan ia tak mau terlambat. Fredy menatap Elyta yang pergi dengan sangat terburu. Elyta pergi dengan ke arah yang berlawanan dengan kelasnya. Ia terlihat berjalan di korior dan menjauhi kelasnya. Mungkin ia ingin keperpustakaan” pikir Fredy.
            Benar saja, setelah beberapa lama, Elyta kembali terlihat menuju kelasnya dengan membawa beberapa buku yang ia pangku di depannya tubuhnya. Mahasiswa sejarah memang harus sering membaca buku yang sangat tebal dan belajar memahami sejarah yang terjadi di masa lampau. Seperti Elyta, ia harus belajar mengenai sejarah, terutama Yunani. Ia memilih prodi Mitologi Yunani sebagai salah satu studi yang ia dalami. Ia dituntut untuk lebih sering membaca buku-buku yang sangat tebal dan bisa dibilang sangat membosankan.
            Sosok Elyta sudah hilang dari pandangannya, kini ia duduk sendiri di sebuah meja kantin yang berpayung itu. Ia sengaja untuk tetap berada disana karena mata kuliahnya hari ini telah usai. Fredy menatap langit dan melihat awan begitu tenang mengapung disana. Seolah tanpa beban apa pun. Berbeda dengan dirinya yang kini dipercayakan untuk melawan keangkaramurkaan yang akan terjadi beberapa waktu lagi. Semua itu belum tentu nyata atau hanya ilusi yang membuatnya tersesat dan tak bisa berpikir jernih.
            “Sendirian aja, Den” sapa Mang Kadir mengagetkan.
            “Eh, Mang Kadir. Ngagetin aja” jawabnya dengan nada terkejut.
            “Maaf, Den. Boleh Mamang pinjam belatinya” pintanya sopan.
            Fredy langsung menyodorkan belati yang ada didepannya tanda Mang Kadir boleh meminjam belati tersebut. Mang Kadir mengambil belati itu dan melihatnya dengan sangat teliti seperti seorang kolektor yang memilih barang untuk koleksinya. Ia menarik belati itu dari sarangnya yang terbuat dari bambu dengan lilitan kain diluarnya. Tak tampak keistimewaan apa pun apalagi kesaktian yang tersimpan didalamnya. Benda itu tak berbeda jauh dengan belati kuno yang sudah tak terawat.
            “Belati ini sangat unik, Den. Terlihat kuno tapi masih kuat dan keras mata belatinya” ucap Mang Kadir.
            “Sebenarnya aku tak tahu apa-apa dengan belati itu. Benda itu tiba-tiba saja datang padaku setelah aku bermimpi mendapatkan belati ini dari seorang laki-laki” jelas Fredy
            “Apakah laki-laki itu bernama Wira?” tanyanya penuh selidik.
            Mendengar jawaban itu, Fredy sangat terkejut. Bagaimana mungkin orang lain dapat mengetahui apa yang ia mimpikan. Kecuali ia seorang peramal, mungkin. Seorang peramal pun tak dapat mengetahui apa yang kita alami secara detail.
            “Mang Kadir kok tahu?” Fredy balik bertanya pada Mang Kadir.
            “Mamang cuma nebak aja, biasanya orang yang punya beginian itu namanya suka kuno-kuno, kayak nama Wira itu” jawab Mang Kadir sambil mengacungkan belati itu dan ia tertawa terbahak-bahak.
            “Kirain Mang Kadir tahu tentang Wira” ucap Fredy seraya menghela napas.
            “Tadi mamang cuma asal tebak aja. Tapi kalo boleh tahu, gimana caranya Aden dapet benda ini?” tanya Mang Kadir.
            Fredy mulai menceritakan semua kejadiannya sejak mimpi bertemu dengan Ki Dharma, menabrak kucing hitam dan mimpi bertemu dengan Wira yang memberi ia belati ini. Disela-sela cetita, Mang Kardi hanya mengangguk-angguk tanda mengerti, walau ia tak bisa dipastikan mengerti dengan cerita Fredy. Setelah Fredy menceritakan semua kejadian itu, ia merasa sedikit lebih tenang karena ia tak menanggung beban dan rahasia itu sendiri.            “Oh, jadi Aden itu dipercaya buat ngalahin Ki Dharma” tanyanya, walau sudah Fredy ceritakan tadi, Mang Kardi tetap menanyakan hal itu untuk memperkuat pemahamannya.
            Fredy hanya mengangguk dan sedetik kemudian tertunduk lesu di meja yang dikelilingi kursi yang ia duduki itu. Ia membenamkan wajahnya pada lengan yang ia jadikan tumpuan di meja. Setelah ia dapat kembali berpikir jernih, ia mulai kembali duduk seperti posisi sebelumnya. Ia tak tahu akibat dari apa yang telah dilakukannya tadi. Apakah akan mempermudahnya menjalankan tugas atau akan mempersulit, bahkan menggagalkan tugasnya dalam melawan iblis itu. Sadar akan hal itu, ia segera pamit dan membayar makanan yang ia santap tadi, dan tak lupa membawa benda kecil yang ia dapatkan dari Wira itu.
            Fredy segera menuju parkiran. Ia berjalan dengan tetap memegang belati itu. Belati pusaka yang masih dipertanyakan kenyataannya. Entah memang benar adanya, atau ilusi belaka. Semua tentang Ki Dharma, Karja, Wira dan malapetaka yang akan terjadi saat purnama nanti terus berputar-putar dalam pikirannya. Terutama tugas yang dipercayakan Wira padanya.
            Mobil yang Fredy gunakan adalah sebuah mobil yang biasa digunakan untuk menjelajah. Mobil terbuka tanpa tutup yang cocok untuk menjelajah alam raya. Ia melajukan mobilnya dengan kencang dan membuat angin yang membuat daun-daun dipinggir jalan terhempas. Saat ia melewati hutan pinus, ia mengurangi kecepatan laju mobilnya. Mungkin takut kejadian kemarin terulang kembali.
            Sesampainya dirumah, ia langsung memarkir mobilnya di garasi. Ia segera masuk ke kamar dan merebahkan diri diatas kasur. Ia menghela napas panjang. Ia melipat tangan dibelakang kepalanya untuk dijadikan sebagai alas kepalanya. Terlihat dada dan perutnya kembang kempis seiring napasnya yang ia hirup dan hembuskan. Ia teringat denganacara kemah yang akan diadakan besok lusa dan akan ia gunakan untuk mengungkapkan perasaannya pada gadis impiannya, Elyta.
            “No, besok lu bantuin gue nyiapin acara kejutan buat Elyta di acara kemah. Pokoknya, lu harus dan wajib bangtuin gue” Fredy menekan tombol send dan pesan pun terkirim.
            Kembali ia merenungkan dan membayangkan jika ia bisa bersanding dengan Elyta dan hidup bahagia. Semua sangat indah untuk ia bayangkan, ia sangat bahagia, sangat sangat bahagia. Andai itu benar terjadi. Menurut pandangan Fredy, gadis cantik, berkulit putih, berambut panjang dan bergelombang, memiliki hidung lancip juga bola mata yang sangat indah itu adalah orang yang paling tepat untuk ia cintai. Gadis itu adalah Elyta, bukan gadis lain. Ia hanya merasakan sesuatu yang bernama cinta itu bersama Elyta, hanya dia.
            Bip bip bip. Ponsel Fredy kembali berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Rino.
            “Iya, gue bantuin. Tapi gak gratis ya. Hehe J” balas Rino sedikit mengancam Fredy agar ia bersedia untuk memenuhi keinginannya. Maklum, ia adalah anak seorang pensiunan yang sudah sepuh dan keluarganya sedikit berhemat dalam menggunakan uang. Wajar saja jika Rino selalu memperhitungkan semua yang ia lakukan dengan uang, itung-itung usaha, katanya.
            “Iya, gue kasih lu budget 300ribu” balas Fredy.
            “Itu baru temen gue” balas Rino singkat.
*****
            Pagi ini adalah pagi yang cukup indah untuk Fredy. Ia akan menyiapkan segalanya pada hari ini. Kejutan, bunga, santap malam juga sebuah cincin. Ia ingin membuat acara besok hari seindah mungkin dan tak mungkin terlupakan oleh Elyta.
            Fredy meraih sebuah tas dan segera menyampirkannya di pundak seraya pergi menuju lantai bawah. Tampak seorang wanita paruh baya yang setiap pagi menyiapkan sarapan itu dengan ramah menyajikan dan mempersilahkan Fredy untuk segera sarapan.
            “Sarapan dulu, Den” tawar wanita itu.
            “Wah, masakannya enak-enak nih, Mbok” puji Fredy. Memang tercium bau harum dari masakan yang disajikan si Mbok dan penyajian yang menarik. Padahal,  masakan yang tersaji hanyalah tumis sawi, mi goreng, telor ceplok dan nasi. Namun semua tersaji dengan sangat mewah di meja makan. Tak kalah dengan penyajian seperti di restoran-restoran ternama.
            “Aden bisa aja” jawab si Mbok dengan senyum tipis tersuing di bibirnya.
            “Sini, Mbok. Makan disini aja. Bareng saya” tawar Fredy.
            “Saya makan di belakang saja, Den. Saya masih punya banyak pekerjaan di dapur” ucapnya menolak tawaran Fredy karena ia sadar bahwa ia hanyalah seorang pembantu di rumah ini.
            Fredy segera menyelesaikan sarapannya. Ia pergi dengan sebuah tas hitam tersampir di punggungnya. Mobilnya dengan setia menunggu di garasi. Fredy segera menghidupkan mesin mobil itu dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Hari ini, ia tak terburu-buru. Ia bisa menikmati perjalanan ke kampusnya dengan santai. Jalanan masing kosong. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang saat itu.
            Lampu merah. Ia segera menginjak rem dan menunggu lampu berubah menjadi hijau. Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti disamping kanan mobilnya. Tid tid, mobil itu membunyikan klakson dua kali. Fredy tak peduli dengan suara klakson itu. Mungkin, dia hanya iseng membunyikan klakson.
            Tid tid tid, klakson berbunyi kembali. Kali ini, pengendara itu menekan klaksonnya tiga kali. Fredy mulai penasaran dengan pengendara yang ada disampingnya itu. Ia menengok ke samping kanan mobilnya. Tak banyak yang ia lihat. Hanya sebuah mobil serba hitam. Ia tak dapat melihat siapa yang ada di dalamnya, kaca mobil itu sangat gelap. Perlahan, kaca di pintu mobil itu turun sedikit dan samar terlihat seorang pria yang sepertinya tak asing bagi Fredy. Laki-laki itu tak melihat ke arah Fredy. Laki-laki itu tetap memandang kurus ke depan. Fredy memperhatikan wajah laki-laki itu. Namun, karena kaca yang sangat gelap itu, ia tetap tak bisa mengenali laki-laki itu. Fredy tak mengenalinya, tapi sudah tak asing baginya.
            Mobil yang berhenti disampingnya tadi perlahan melaju. Terdengar bunyi klakson dari belakang mobil Fredy. Ia melihat lampu lalu lintas yang sudah berubah menjai hijau. Ia melambaikan tangan pada pengendara di belakangnya sebagai tanda bahwa ia meminta maaf. Fredy segera menginjak gas dan melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Ia menyusul mobil hitam yang berhenti di samping mobilnya itu. Ternyata mereka satu arah. Fredy mengurangi kecepatannya. Ia ingin lebih lambat dalam melewati kawasan perkebunan jati ini. Udara disana sangatlah sejuk dan sunyi, jauh dari kata kebisingan.
            Fredy melihat mobil hitam itu menepi di sebuah pos jaga perkebunan ini.
            “Mungkin dia pemiliknya” pikirnya
            Laki-laki itu turun dari mobil dan ia sangat mirip dengan Fredy. Saat itu pula ia menyadari dengan semua kebaikan pegawai perkebunan padanya. Mungkin karena ia sangat mirip dengan tuannya.
            Fredy menepikan mobilnya tepat di belakang mobil pengendara tadi. Ia turun dan menghampiri laki-laki itu. Semua pegawai yang ada disitu sangat kaget dan bingung. Mungkin mereka berpikir bahwa tuannya kini ada dua dan entah  mana tuannya yang asli.
            Fredy mendekat dan ia juga sangat kaget dengan wajah laki-laki itu. Mirip dan identik. Hampir tak ada perbeadan yang terlihat. Mereka sangatlah mirip.
            “Siapa kau?” tanya laki-laki itu pada Fredy.
            “Aku Fredy. Hm, kamu siapa? Apakah kita bersaudara?” Fredy berbalik nanya.
            “Hahaa, mungkin kita adalah saudara kembar yang terpisah” canda laki-laki itu.
            “Aku Ferdy” tambahnya singkat.
            Dan sekarang, bukan hanya wajah mereka yang mirip. Nama mereka pun sangatlah mirip. Entah ini suatu kebetulan atau takdir. Mereka tak tahu. Mereka hanya bisa saling pandang dan senyum memperhatikan orang lan yang ada di depannya. Mungkin seperti bercermin.
                        “Ternyata, bukan hanya wajah kita yang mirip. Tapi nama kita juga mirip” ucap Fredy.
                        Ferdy hanya tersenyum melihat seseorang yang ada di depannya ini. Mungkin ia sedang memikirkan mengapa bisa bertemu dengan orang “dirinya” yang lain. Sepengetahuannya, ia tak memiliki saudara kembar yang bernama Fredy. Terlihat para pegawai itu memandang Fredy dan Ferdy tanpa berkedip sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Benar-benar mirip” hanya kata itu yang mereka ucapkan.
                        “Eh, Ferdy. Aku duluan, ya” Fredy pamit seraya pergi menuju mobilnya.
                        “Kemana?” tanya Ferdy setengah berteriak.
                        “Kampus” jawab Fredy singkat. Kemudian ia menyalakan mobilnya dan mulai melaju. Tepat di depan Ferdy, Fredy melambaikan tangan sebagai tanda hormat pada Ferdy sekaligus salam perpisahan. Fredy membalas lambaia tangannya.
                        Fredy mulai menjauhi tempat pertemuannya dengan Ferdy tadi. Sekejap ia menengok ke belakang dan masih terlihat Ferdy kembali melambaikan tangannya. Ia segera memfokuskan kembali kemudinya. Ia menatap kaca spion yang dan ia tak melihat Ferdy juga para pegawainya. Ia merasa terkejut, dan ia kembali melihat kebelakang. Masih terlihat sosok Ferdy melambaikan tangan.
                        “Mungkin kaca spion itu membengkok dan tak dapat memantulkan bayang di belakangnya” pikir Fredy dalam hati.
                        Kini ia sudah keluar dari kawasan hutan jati. Ia sudah berada di sebuah jalan raya dan sebentar lagi ia akan sampai ke kampusnya.
                        Fredy memarkirkan mobilnya di tempat biasa ia parkir. Mungkin karena tak banyak mahasiswa yang membawa mobil hingga khusus bagi mahasiswa yang membawa mobil cenderung menapatkan tempat parkir yang sama tiap harinya. Berbeda dengan pengendara motor. Parkirannya selalu penuh dan tempat parkir satu motor akan berbeda di hari berikutnya. Mungkin para mahasiswa memilih motor sebagai kendaraan mereka karena ukurannya yang kecil dan bisa sedikit menghindar dari kemacetan. Umumnya, motor bisa menyelinap diantara mobil-mobil saat macet.
                        Fredy segera menuju bangku taman yang tepat berada dibawah pohon rindang. Tempat ini sangat sejuk. Tak aneh jika tempat ini selalu menjadi tujuan utama para mahasiswa untuk membaca buku atau sekedar ngobrol dengan teman. Fredy langsung menuju tempat itu, sebelum orang lain menempatinya. Ia duduk dengan menyandarkan tubuhnya di bangku taman itu.
                        “Boleh duduk disitu?” tanya seorang gadis. Ya, seorang gadis yang ia “cintai”, mungkin.
                        “Tentu boleh, dong” jawab Fredy dengan senyum pisangnya. Senyum yang melengkung dan manis seperti pisang.
                        “Eh, besok gimana? Jadi ikut?” tanya Fredy menyusul pernyataan tadi.
                        “Iya, jadi, kok” jawab Elyta.
                        Mereka berbincang panjang lebar. Mereka saling bercerita tentang masa kecilnya, pengalaman lucu dan apa pun yang dapat membuat dua insan ini tertawa lepas. Fredy menceritakan kisahnya di masa kecil yang cengeng dan selalu menjadi sasaran kejahilan Rino. Ia tak bisa melawan Rino, karena badannya lebih kecil dari Rino. Ia selalu menjadi upik abu bagi teman-temannya. Saat masa remaj, ia pernah suka sama teman sekelasnya dan mencoba mengutarakan perasaannya. Mungkin saat itu Tuhan tak mengizinkan merekauntuk bersama hingga ia langsung ditolak secara halus.
                        “Maaf, kamu terlalu baik buat aku. Aku juga mau fokus dulu sama ulangan aku” kira kira begitu alasannya. Alasan yang paling sering digunakan cewek buat nolak cowok. Tapi setelah beberapa hari, cewek itu punya pacar. Hal ini jelas membuat Fredy tak begitu berambisi dalam dunia percintaan. Hingga saat ini, ia belum mempunyai seorang kekasih.
                        “Oh, jadi itu alasan Kakak gak pacaran” ucap Elyta sambil mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.
                        “Kalo cerita kamu gimana?” Fredy berbalik nanya.
                        “Tak berbeda jauh dengan cerita kamu” jawabnya.
                        Elyta mulai menceritakan semua tentang masa kecilnya, dimana ia selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Dia adalah anak satu-satunya. Elyta memiliki pengalaman yang tak bisa ia lupakan sampai kapan pun. Saat masa remaja, ia pernah menyukai seorang laki-laki, dia adalah seniornya di sekolah. Ia selalu menunggu kedatangannya di gerbang sekolah. Mengikuti ekskul yang dia ikuti. Dan yang paling berkesan adalah ketika dia terpilih menjadi pasangan laki-laki itu di acara Fashion Show di sekolahnya. Dia memakai kostum yang sangat bertolak belakang. Elyta memakai gaun yang cantik seperti seorang putri. Elyta sengaja memilih kostum ini agar terlihat cantik di depan laki-laki itu. Sedangkan laki-laki itu memakai pakaian ala tentara. Karena tema dari Fashion Show itu adalah militer.
                        Elyta menceritakan semua pengalamannya itu, Fredy tertawa lepas mendengar ceritanya. Fredy tak menyangka bisa sedekat ini dengan Elyta. Padahal mereka baru kenal beberapa hari. Namun, jika  cinta sudah memegang kendali jiwa, manusia tak bisa berbuat apa-apa. Manusia hanya bisa mengikuti alur cerita cinta yang tercipta dari dua insan yang berbeda. Cerita cinta yang tercipta karena perbedaan yang menyatukan mereka, bukan memisahkan.
                        “Eh, aku ada kelas sekarang. Aku duluan, ya” ucap Elyta pada Fredy.
                        “Aku juga ada kelas sekarang, mau bareng?” tawar Fredy.
                        Elyta hanya mengangguk tanda setuju. Mereka segera pergi meninggalkan bangku taman dan pohon besar yang menjadi saksi bisu atas semua yang telah mereka lakukan. Mereka tertawa, dan saling bertukar pengalaman disana. Saksi untuk dua jiwa yang sedang dimabuk cinta.
                        Sepanjang perjalanan, mereka terus berbincang mengenai pelajaran yang mereka pelajari. Elyta menceritakan bahwa bangsa Yunani menganggap kucing sebagai dewa dan banyak kucing mati yang dimumikan dengan harapan dapat hidup kembali dimasa yang akan datang. Kucing-kucing pada masa ini dianggap suci karena dipercaya merupakan keturunan dewa. Menurut sejarah, dewa tersebut mirip dengan kucing sehingga bangsa Yunani saat itu menganggap kucing sebagai binatang suci.
                        Mendengar penjelasan itu, Fredy langsung teringat saat ia menabrak seekor kucing tempo hari. Kini ia tahu mengapa bisa ada mitos jika menabrak apalagi membunuh kucing itu akan membawa kesialan. Apalagi kucing hitam. Selain cukup menakutkan, kucing hitam juga sering digunakan sebagai bagian dari sesaji upacara yang berbau mistis. Namun, sejauh ini, takada kesialan yang berarti dalam hidup Fredy setelah menabrak kucing itu. Semua masih berjalan sebagaimana mestinya.
                        “Tempo hari, aku nabrak kucing hitam di pohon pinus” ucap Fredy tiba-tiba.
                        Tak terlihat raut wajah kaget atau takut dari wajah Elyta. Seperti ia sudah mengetahui hal itu. Ia hanya mengangguk-anggukan kepala tanda ia megerti. Elyta tak banyak berkomentar saat itu. Ia seperti tak ingin lebih hanyut dalam pembicaraan tentang kucing itu.
                        “Besok itu gimana? Bawa apa aja?” tanya Elyta mengalihkan pembicaraan. Entah karena ia tajut dengan kucing atau memiliki pengalaman buruk dengan kucing.
                        “Bawa makanan, baju, obat-obatan dan barang-barang yang sekiranya diperlukan nanti. Untuk tenda dan alas tidur sudah disediakan oleh pihak kampus” jelas Ferdy. Dan kejutan untuk Elyta juga sudah disiapkan oleh Fredy tentunya.
                        Elyta menanyakan pengalaman Fredy dalam menjelajah dan berkemah. Ia yakin, bahwa Fredy dapat ia percaya untuk menjaganya nanti di perkemahan. Ia tidak pernah berkemah sebelumnya. Ia tak pernah diizinkan untuk mengikuti wisata alam dan kegiatan ke-pramukaan selama ia menjadi osis dulu.  Orang tuanya selalu melarangnya karena ia adalah anak satu-satunya dan anak yang paling mereka cintai. Kira-kira begitulah isi cerita Elyta pada Fredy.
                        Mereka terpisah di koridor kampus. Elyta pergi ke arah kanan dan Fredy pergi ke arah kiri. Mereka sangat berat untu berpisah, terlebih Fredy. Ia tak ingin Elyta hilang dari pandangan matanya.
                        Fredy berjalan menelusuri koridor yang cukup sepi itu. Tak banyak mahasiswa yang berdiri atau sekedar duduk dibangku yang tersedia di sepanjang koridor itu. Fredy mulai merasakan hembusan angin yang dingin dan semakin dingin. Ia tak mengerti mengapa koridor itu menjadi sangat dingin, padahal tadinya koridor ini sangat pengap dan hampir sulit bernapas ditempat ini, terlebih bagi para penderita asma.
                        Dingin sekali disini. Pikir Fredy dalam hati. Ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya dan semua orang terlihat biasa saja. Mungkin mereka menikmati kesejukan yang ada di koridor ini.
                        “Musim hujan sebentar lagi tiba”
                        “Iya, pantes aja koridor ini mendadak sejuk”
                        “Andai dari dulu koridor ini sesejuk ini, betah gue di kampus”
                        Kata-kata itu terucap dari bibir para mahasiswa yang mencoba mencari penyebab koridor ini menjadi dingin. Tapi, yang Fredy rasakan sungguh berbeda dengan yang orang lain pikirkan. Ia merasakan ada aura jahat yang menyebar ddi kampus ini. Entah itu hanya perkiraannya atau benar adanya. Fredy tak tahu.
                        Fredy merasa kurang suka dengan suasana seperti itu. Ia memutuskan untuk pergi dan beristirahat. Apalagi besok adalah acara pekemahan dan juga kejutan untuk Elyta. Ia segera berbalik dan kemali ke parkiran. Fredy pulang.
                        Fredy sengaja untuk mampir ke sebuah mini market untuk membeli bekal yang akan ia bawa saat berkemah nanti. Ia segera memasuki sebuah mini market. Fredy mengambil sebuah keranjang merah untuk ia membawa apa yang akan ia beli, karena kebetulan disana tidak ada troler untuk tempat belanjaannya. Ia berkeliling dan mengambil barang-barang yang ia perlukan. Ia membeli makanan instan dan mudah dimasak. Ia juga membeli perlengkapan kebersihan. Setelah merasa cukup, segera ia membayarnya ke kasir.
                        Fredy pergi meninggalkan mini market itu dengam membawwa sekantung penuh keperluannya untuk besok. Ia sangat menanti saat itu, saat dimana semua akan menjadi indah.
                        Waktu terus berlalu, kini senja mulai menghampiri bumi tempat Fredy berdiam. Lembayung senja terlukis indah menghias langit saat itu. Indah. Berwarna orange dan sangat lembut dipandang. Matahari perlahan bersembunyi di balik awan dan mengurangi sengatan panas yang ia cipatakan. Seolah dunia menjadi damai.
                        Matahari semakin tenggelam. Langit berubah menjadi kelam. Lampu-lampu mulai dinyalakan disetiap rumah. Tak ada orang yang berkeliaran saat itu. Mungkin karena mitos. Mitos bahwa waktu pergantian siang dan malam adalah waktu yang paling disukai oleh makhluk halus. Mereka berkeliaran pada saat itu, saat pergantian siang dan malam. Kira-kira pukul 06.00 hingga 06.15 petang.
                        Malam mulai menyapa. Anginnya menerpa lembut, membelai wajah siapa saja yang terkena. Angin yang membawa kesejukan. Gelap yang membawa kebutaan. Dan cahaya temaram yang membawa kedamaian. Semua berbaur menjadi sebuah harmoni yang sangat indah.
                        Bulan mulai terlihat. Hampir bulat penuh. Cahayanya menerobos setiap celah. Itu tandanya bulan purnama akan segera muncul. Mungkin besok malam? Atau mungkin lusa? Itu artinya malapetaka akan segera terjadi, jika itu benar adanya.
                        Fredy memandang bulan yang hampir bulat sempurna itu. Indah. Bercahaya. Akankah benar jika bulan seindah itu akan membawa petaka? Apakah benar adanya dunia bisa dikuasai oleh manusia? Atau mungkin iblis yang menjelma manusia? Semua pertanyaan itu muncul dalam pikirannya. Ia teringat dengan sebuah benda kecil yang akan dia gunakan sebagai senjata. Benda kecil yang berukuran sekitar 15 cm dapat mengalahkan seorang iblis? Apakah benar ia akan menyelamatkan dunia dari malapetaka? Semua masih menjadi misteri.
                        Tak terasa, sudah lebih dari 2 jam Fredy memandang bulan itu. Ia melihat sosok hitam yang berkelebat di depan sinar bulan yang terang benderang. Apakah itu ufo? Ataukah itu Ki Dharma? Atau mungkin Wira yang akan memastikannya baik-baik saja.
                        Sosok hitam itu mendekat. Bukan! Bukan mendekat ke arahnya. Sosok hitam itu menuju sebuah pohon besar yang terletak cukup jauh dari rumahnya. Perlahan sosok itu memudar dan menghilang.
                        Fredy pergi menuju kamarnya dan mengambil sebuah tas yang biasa ia gunakan untuk pergi ke kampus. Ia mengeluarkan sebuah belati yang ia simpan didalamnya. Fredy mengambilnya. Ia menggenggam belati itu. Tak jauh berbeda dengan belati pada umumnya. Ia mulai memperhatikan belati itu dengan seksama. Tubuhnya bergetar hebat. Cahaya biru keluar dari belati itu. Fredy seperti menyusuri sebuah lorong yang gelap. Ia tak tahu belati itu membawanya kemana. Semua begitu cepat terjadi. Ia berada di sebuah tempat yang cukup asing baginya.
                        “Bagaimana dengan Wira? Dia akan mengagalkan rencana kita” tanya seorang laki-laki yang tak ia kenali sebelumnya. Ia memakai pakaian seperti adat jawa zaman dulu. Jauh sebelum desainer-desainer berkarya dengan pakaian yang mereka ciptakan.
                        “Kita harus melenyapkannya, sebelum dia membongkar semua rahasia kita” jawab seorang laki-laki yang bersamanya tadi.
                        “Dharma, kau memang pintar” puji seorang yang sejak tadi bersamanya.
                        Dharma? Itu Ki Dharma? Bukankah dia sudah tua? Dan dia? Apakah dia Karja?
                        “Karja, kutugaskan kau untuk memantau setiap kegiatan Wira, dan jika ada kesempatan, bunuh dia!” titah Dharma pada Karja.
                        Jelas sudah. Mereka adalah Ki Dharma dan Karja. Tapi mengapa Fredy bisa sampai kesana? Apakah belati itu yang membawanya kesana? Kembali ke masa lalu?
                        Fredy bersembunyi di balik semak, ia tetap memandang gubuk tempat Ki Dharma dan Karja. Ia sangat berhati-hati dengan posisinya karena takut terlihat oleh dua laki-laki yang sedang merencanakan pembunuhan Wira. Namun, Fredy ingat, ia sedang berada dimasa lalu. Tak mungkin ia terlihat, dan benar saja, saat ia mendekat dengan perlahan. Dua laki-laki itu tak menyadari kehadiran Fredy.
                        Fredy memanfaatkan hal itu untuk mencari sesuatu petunjuk disana. Ia mencari ke segala penjuru gubuk itu. Ia melihat sebuah kitab kuno. Ia sangat penasaran dengan kitab itu. Ia mencoba mendekati kitab itu, ia mencoba mengambil kitab itu. Namun, ia tak bisa mengambil buku itu. Ia seperti dapat menembus apa pun yang mengahalanginya. Mungkin yang berada ditempat itu hanyalah arwahnya saja. Mungkin itu sebabnya ia tak dapat menyentuh apapun. Ia hanya bisa menembus semua benda yang ada disana.
                        Fredy sadar bahwa ia tak dapat melakukan apa pun disana, selain memperhatikan dua laki-laki itu. Ia hanya memandang dan mendengar apa yang mereka bincangkan. Fredy bediri seperti patung yang tak dapat bergerak.
                        “Tuan, maaf. Tadi saya lihat Wira pergi menuju hutan” ucap seorang yang Fredy taksir ia adalah prajurit atau mungkin pengawalnya.
                        “Apakah dia pergi bersama pengawalnya” tanya Ki Dharma.
                        “Dia hanya pergi sendiri” jawab seorang yang mengabarkan berita tadi
                        Ki Dharma dan Karja mulai mengangguk-angguk. Mereka mulai memikirkan kemungkinan peluang keberhasilan jika melakukan pembunuhan malam ini.
                        Fredy melihat Ki Dharma dan Karja pergimeninggalkan gubuk itu. Fredy merasakan dirinya kembali dikelilingi oleh cahaya kebiruan yang tadi membawanya kesini. Cahaya itu mulai mengaburkan pandangannya. Mungkin ia dibawa ke tempat lain. Entah kemana cahaya itu membawanya pergi.
                        Cahaya mulai memudar. Kini Fredy sudah berada ditempat lain. Sebuah tempat yang sangat asing. Tempat itu adalah sebuah hutan dan tepat didepannya terdapat sebuah gua yang diterangi setitik cahaya. Mungkin itu lentera. Fredy segera memasuki gua itu. Sanagt gelap hanya ada satu titik cahaya dan itu cukup jauh jaraknya. Iaterus menelusuri gua itu dan tiba di sebuah ruang yang cukup luas. Terlihat bahwa sumber cahaya tadi adalah sebuah lentera yang dibawa oleh seorang laki-laki. Itu adalah Wira, wajahnya tak jauh berbeda dengan Wira yang ia temui dalam mimpi.
                        Wira duduk bersila diatas sebuah batu hitam dan besar. Tepat disisi kirinya terdapat sebuah lentera sebagai sumber penerangan disini. Dan disebelah kanan terdapat secawan air yang gemerlap mendapat pantulan cahaya dari lentera itu. Airnya tak tenang, terus beriak dan semakin indah gemerlap itu. Namun, dibalik keindahan itu tersimpan makna yang sangat mengerikan. Air itu menandakan bahwa bahaya mengincar dan terus mengikutinya. Wira segera mengakhiri pertapaannya dan memperhatikan riak  air dalam cawan itu. Benar-benar bahaya mengincarnya. Wira mengambil lentera itu dan meninggalkan gua itu.
                        “Senang bertemu denganmu, Wira” sapa Ki Dharma yang sudah menunggunya di mulut gua.
                        “Apa yang kau inginkan?” tanya Wira.
                        “Tak banyak yang ku inginkan. Aku ingin kau musnah dari muka bumi ini Wira” jawab Ki Dharma penuh amarah.
                        Sedetik kemudian terjadi sebuah pertempuran antara Wira dan Ki Dharma. Mereka saling beradu kesaktian. Entah apa yang mereka lakukan. Mereka terus mengucapkan mantra tanpa henti. Saling hantam dan saling menjatuhkan. Wira merasa terdesak dan ia pergi meninggalkan tempat itu. Ki Dharma tak tinggal diam. Ia mengejar Wira. Bukan berlari diatas tanah, tapi berlari dari pucuk daun yang satu ke pucuk daun yang lain. Wira semakin dekat dengan Ki Dharma. Tanpa membuang kesempatan. Ki Dharma melemparkan sebuah belatitepat ke punggung kiri Wira. Wira terjatuh dan tak berdaya. Belati itu telah ibaluri racun yang sangat mematikan. Dalam sekejap, racun itu menyebar ke seluruh tubuh Wira dan dia tewas saat itu juga. Wira dibunuh oleh Ki Dharma dengan sebuah belati dan sekarang belati itu ada padanya.
                        Cahaya biru kembali menyelimuti dirinya. Dalam beberapa detik, ia sudah ada dikamarnya. Fredy masih terpaku dengan kejadian yang ia lihat tadi. Ia tidak bermimpi. Ia berdiri dengan sangat kaku. Ia telah menyaksikan pembunuhan Wira oleh Ki Dharma dengan mata kepalanya sendiri. Belati itu telah menunjukan sejarahnya. Dan belati itu akan digunakan untuk membunuh tuannya sendiri, Ki Dharma.
                        Fredy tak tahu apa yang harus ia lakukan. Menyelamatkan dunia ataukah memperjuangkan cintanya. Ia tak tahu mengapa semua menjadi sangat rumit sekarang. Ia juga tak yakin dapat mengalahkan Ki Dharma seorang diri. Fredy merebahkan dirinya sejenak dan mulai tertidur, hanyut dalam dunia mimpi. Kembali ia memimpikan Wira.
                        “Bersiaplah Fredy, kau akan menjadi seorang pahlawan di dunia. Besok malam adalah saat purnama yang ditunggu oleh Ki Dharma. Ia akan melakukan ritualnya dihutan tepat dibelakang kampusmu” ucap Fredy.
                        “Belakang kampusku? Lalu, bagaimana dengan teman-temanku?” tanya Fredy khawatir.
                        “Semua akan baik-baik saja. Bersikaplah seperti biasa. Seperti tak akan terjadi apa pun. Saat bulan purnama muncul dengan sempurna, Ki Dharma akan membuat semua orang masuk ke dalam ilusinya. Hanya kau yang tak dapat masuk ke dalam ilusinya dan seorang yang aku percayakan untuk melindungimu. Kau dan dia tak akan terpengaruh oleh ajiannya. Tapi, kau harus berusaha terlihat masuk ke dalam ilusinya. Ikuti apa yang dilakukan teman-temanmu. Mereka semua akan terjebak dalam ilusi Ki Dharma, kecuali kau dan orang yang akan mendampingimu” jelas Wira panjang lebar.
                        “Siapa yang akan membantuku dan apa yang harus aku lakukan?” tanya Fredy.
                        “Kau akan mengetahuinya nanti, jika semua terjadi. Kau cukup meggunakan belati yng aku berikan. Gunakan sebaik mungkin. Ingat itu. Setelah semua terjadi, bersikaplah seperti tak terjadi apa pun. Hanya kau yang menyadari dengan semua kejadian itu dan hanya kau yang mengetahuinya. Tetap jaga rahasia itu.” jawab Wira.
                        Perlahan bayangan Wira itu hilang diselimuti cahaya biru seperti cahaya yang menyelimutinya beberapa waktu lalu. Cahaya itu semakin memudar dan hilang membawa Wira. Entah kemana dia pergi.
                        Perlahan kesadaran Fredy kembali. Ia terbangun dari tidurnya. Ia bangun dan duduk di tempat tidurnya. Ia mengusap wajahnya. Satu beban kembali ia terima. Besok malam. Semua sangat cepat. Ia melirik sebuah jam dinding yang masih menunjukan pukul 10 malam. Fredy berpikir bahwa ia harus beristirahat cukup dan menyiapkan energi untuk besok malam. Ia kembali tidur dan Wira maupun Ki Dharma tak menampakan wujudnya kembali di mimpi Fredy.
                        Fredy tertidur dengan tenang, tak ada sosok siapapun yang mengganggunya. Tak ada sosok Wira yang memberi petunjuk, juga Ki Dharma yang akan membunuhnya. Semua tak muncul dalam mimpinya.
*****
                        Seperti biasa, ia terbangun di pagi harinya. Ia mulai menuruni tangga an mendapati seorang wanita paruh baya yang dengan setia menyiapkan sarapan untuknya.
                        “Sarapan dulu, Den” tawar wanita itu.
                        “Iya mbok. Eh, kalo sempet tolong siapin juga buat nanti aku bawa kemah” pintanya sopan.
                        “Iya, Den. Pasti sempet kok” jawab wnita itu.
                        Fredy langsung menyantap masakan itu. Ia makan dengan sangat lahap. Setelah itu ia kembali ke kamarnya untuk menyiapkan segala yang akan ia perlukaan disana. Tak lupa sebuah belati milik Ki Dharma yang telah digunakannya untuk membunuh Wira, dan beberapa saat lag belati itu akan ia gunakan untuk membunuh tuan dari belati ini.
                        Waktu semakin berlalu. Matahari semakin naik. Jalanan di depan rumahnya semakin ramai oleh kendaraan. Sejenak ia membayangkan jika benar dunia ini akan menjadi milik Ki Dharma, mungkin tak akan ada kendaraan yang belalu-lalang dengan tenang, semua orang akan beraktivitas dibawah ilusi dan kekuasaannya. Sungguh mengerikan.
                        Fredy segera mandi dan berpakaian rapi. Ia pergi menuju kampus tepat pukul 8 pagi. Sengaja ia pergi ke kampus untuk kembali berdiskusi dan kembali memeriksa kesiapan semua mahasiswa yang ikut serta. Tampak dua batalion terparkir di depan kampusnya. Satu batalion sudah penuh dengan tenda-tenda, peralatan masak juga genset yang akan digunakan untuk acara disana. Jarak denganhutan memang sangat dekat dari kampus itu. Namun, jka pergi ke perkemahan tampa batalion tak lengkap rasanya. Satu batalion masih kosong. Mungkin untuk mengangkut mahasiswa.
                        Fredy segera menuju salah satu ruangan yang disepakati untuk dijadikan ruang rapat sebelum kepergian menuju perkemahan. Ruangan itu sudah penuh dan tampak tidak sabar untuk segeraa pergi berkemah. Dalam rapat itu, mereka membahas acara-acara yang akan dilakukan untuk mengisi perkemahannya itu. Rapat itu diimpin oleh seorang yang tak asing baginya, Frankie. Setelah semua setuju dengan acara-acara yang diajukan oleh Fankie yang akan mengisi hiburan di perkemahannya nanti. Semua mahasiswa langsung setuju. Selain karena Frankie adalah ketua pelaksana, mereka setuju karena memang acara-acara yang ditawarkan Frankie sangat menarik.
                        Setelah rapat ditutup, semua mahasiswa segera berhamburan menuju batalion yang sudah disiapkan untuk mengangkut mereka. Tak kalah, para mahasiswi dengan gesit menyalib para laki-laki yang sudah lebih dulu menuju batalion itu. Tampak keceriaan muncul dimana-mana. Fredy tak tega jika semua kebahagiaan ini harus diambil dengan paksa dari mereka malam nanti. Sungguh tak kuat rasanya. Fredy segera meminahkan mobilnya untuk diparkir di sebuah ruangan di kampus itu, ruangan itu sudah lama tak terpakai hingga dijadikan garasi untuk menyimpan kendaraan milik para penjaga malam di kampus ini. Fredy ikut berbaur dengan mahasiswa lain di batalion yang khusus diperuntukan untuk kendaraan mahasiswa itu. Ada juga sebagian mahasiswa yang memilih menaiki batalion yang digunakan untuk mengangkut tenda dan peralatan.
                        Setelah semua dipastikan telah menaiki batalion itu, supir mulai menyalakan mesin dan perlahan mulai melaju. Sang supir sengaja memilih jalan yang sedikit memutar atas permintaan para mahasiswa. Mereka melalui jalanan yang cukup terjal dan berkelok-kelok di dalam hutan sana. Tampak lumpur menggenangi sebagian dataran di hutan itu yang menyebabkan batalion yang membawa mereka terjebak di dalamnya. Terdengar suara mahasiswa menyoraki karena kesal, terlebih para mahasiswi.
                        Lumpur ditengah hutan dan tak ada hujan sebelumnya. Pertanda apa ini? Mungkinkah ini jebakan? Fredy mencoba menyelidik kejadian itu. Semua keadaan hutan saat itu terlihat normal, kecuali genangan lumpur ini.
                        “Buat temen temen semua, berhubung batalion yang akan membawa kalian sampai tujuan terjebak lumpur. Dimohon agar semua turun dan berjalan menuju lokasi perkemahan. Batalion yang membawa tenda sudah sampai disana” ucap Frankie bijak melalui sebuah pengeras suara.
                        “Huuuu” suara itu saling bersahutan dan membuat sebuah harmoni.
                        Semua mahasiswa segera berjalan menelusuri hutan, termasuk Frady dan Frankie yang meminpin di depan. Mereka mengenang masa lalunya ketika tantangan mendaki gunung. Sangat konyol. Semua akan lebih indah jika dilakukan secara bersama,bukan sendiri karena ambisi untuk menjadi hebat.
            Setelah berjalan sekitar 500 meter, mereka sampai disebuah tempat yang luas. Dibawahnya terdapat aliran sungai. Tempat ini sangat strategis untuk sebuah perkemahan. Tampak beberapa panitia menurunkan barang-barang dari batalion yang dibantu oleh mahasiswa. Mereka mendirikan tenda-tenda. Membuat kaskus. Memasang genset dan membuat jalan setapak untuk menuju sungai. Tempat ini sangat tepat, dekat dengan air juga tanahnya lapang. Banyak kayu bakar berserakan. Tak perlu bersusah payah mencari kayu bakar untuk memasak.
            “Tempat ini sangat bagus ya, Den” ucap Mang Kardi.
            “Eh, Mang Kardi ikut juga” tanya Fredy kaget.
            “Iya, Den. Mamang diminta untuk membantu memasak disini. Kasihan, kan, jika para mahasiswi memasak untuk orang segini banyak. Apalagi mereka belumterbiasa memasak banyak” jawab Mang Kardi.
            Benar juga, pikir Fredy. Ia dapat membantu memasak karena seksi konsumsi memang hanya sedikit.
            “Eh, Mang. Aku mau kesana dulu. Mau bantuin yang lain dulu” pamitnya sopan.
            Fredy segera pergi dan membantu mendirikan tenda untuk para mahasiswi. Mereka tak bisa mendirikan tenda sendiri. Mereka hanya bisa menggunakan mulut dan telunjuknya untuk menyuruh.
            Selagi semua mahasiswa berbenah, tak sedikit juga mahasiswa yang bersembunyi didalam tenda yang sudah kokoh berderi. Tenda yang diirikan memang sangat besar. Satu tenda bisa masuk sekitar 20 orang, dan tersedia 6 tenda disini. Tenda ini milik pihak kepolisian yang dipinjam untuk dipakai acara perkemahan. 3 tenda untuk perempuan, 2 tenda untuk laki-laki dan satu tenda khusus untuk persediaan makanan juga sebagai dapur umum yang dihuni oleh Mang Kadir juga seksi konsumsi. Mereka saling membantu dalam menjalankan tugas.
            Hari semakin sore, satu persatu peserta juga panitia pergi ke sungai untuk sekedar mandi. Ada juga yang pergi ke kaskus untuk menjalankan rutinitasnya. Sedangkan Mang Kadir juga para mahasiswa yang mendapat tugas dibagian konsumsi sibuk memasak untuk makan malam nanti.
            Waktu sudah menunjukan pukul 17.50. Namun, matahari masih enggan meninggalkan mereka. Hingga pukul 18.30 barulah matahari benar-benar tenggelam. Lampu yang dinyalakan oleh genset mulai menerangi malam ini. Lentera disepanjang jalan menuju kaskus juga mulai dinyalakan. Indah. Lentera itu terbuat dari pintalan kain yang dibasahi oleh minyak tanah dan diletakan pada bambu. Api tampak berlenggak-lenggok diterpa angin.
            Tepat pukul 19.30 para peserta berkumpul membuat sebuah lingkaran besar yang ditengahnya terdapan sebuah api unggun yang cukup besar dan cukup menghangatkan puluhan mahasiswa itu. Mang Kardi bersama stafnya --para seksi konsumsi—segera menghidangkan makan malam untuk mereka. Sebuah makan malam yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Makan malam dengan duduk mengelilingi api unggun, ditengah hutan, dan ddibawah bulan purnama. Iya, bulan purnama mulai muncul, namun masih tertutup awan sehingga tak tampak sempurna.
            “Beberapa saat lagi” ucap Fredy dalam hati.
            Seperti tak akan terjadi apa-apa, Fredy menerima satu porsi makan malamnya yang dihidangkan oleh Elyta. Dia dipercaya sebagai seksi konsumsi disana, dibantu Mang Kardi dan beberapa temannya.
            “Selamat makan, Kak” ucap Elyta ramah.
            “Kamu sendiri sudah makan” Fredy ingin sekali menanyakan hal itu, namun suasana tak mendukung. Mereka berada diantara puluhan mahasiswa yang menanti makan malamnya. Ia mengurungkaan niatnya untuk bertanya dan hanya membaalas ucapan Elyta dengan sebuah senyuman.
            Setelah makan malam usai, mereka melanjutkan kegiatannya. Kecuali seksi kebersihan. Mereka harus mencuci piring dan membersihkan sampah-sampah yang berserakan usai makan malam tadi.
            Acara usai makan malam ini adalah sebuah acara hiburan. Acara ini diisi dengan bernyanyi bersama, bercerita juga bakar jagung atau memasak makanan instan bagi yang masih lapar. Tak sedikit juga para mahasiswa yang memanfaatkan moment ini untuk memadu kasih dengan kekasihnya. Mereka duduk di bawah pohon dengan cahaya bulan yang temaram. Ada juga yang memilih duduk di dekat api unggun untuk sekedar menghangatkan badan.
            Waktu terus berlalu. Bulan purnama mulai menyempurnakan bentuknya. Cahayanya mulai menerobos ranting-ranting daun. Cahaya bulan itu berubah menjadi kemerahan.
            “Inikah saatnya” tanya Fredy dalam hati.
            Fredy meraba saku celananya untuk memastikan belati sudah siap menunggu disana. Dia harus siap menghadapi apa pun yang terjadi nanti. Perlahan, gerak-gerik para mahasiswa mulai menjadi aneh. Mereka menatap kosong apa pun yang ada di depannya.
            “Sudah benar-benar dimulai” pikir Fredy.
            Semua temaannya juga dosen yang mendampingi mereka mendadak aneh. Mereka berjalan dengan tatapan kosong. Mereka berjalan menuju ke balik bukit yang ada tepat disebrang tenda mereka. Semua berjalan dengan tatapan kosong. Tanpa kecuali. Tampak sesosok makhluk yang pernah Fredy temui dalam mimpinya. Makhluk kecil yang mengawal makhluk besar yang langsung turun dari langit. Makhluk itu mengeluarkan bau yang sangat menyengat, seperti bangkai. Namun, semua orang tampak tak mencium bau tersebut. Apakah mereka sudah terjebak dalam ilusi Ki Dharma, pikir Fredy dalam hati. Ia berusaha seperti orang lain, walau pun ia merasa ingin muntah dengan bau yang sangat menyengat itu.
            Mereka digiring menuju suatu tempat yang sama persis dengan awal dia memimpikan sosok Ki Dharma. Sebuah tanah yang luas dan ditumbuhi pohon-pohon di sisi-sisinya. Semua orang berbaris dengan teratur, termasuk Frady. Ataukah kami akan dijadikan sebagai persembahan untuk makhluk itu? Tanya Fredy dalam hati. Ia terus mencari sosok Ki Dharma dan mungkin juga Karja. Nihil, ia tak menemukan dua iblis yang menyerupai manusia itu.
            “Kau harus menggagalkan cahaya merah yang berasal dari bulan purnama itu menyentuh bumi. Kau harus memantuklkan cahaya itu kembali ke langit dengan sebuah cermin yang ada dibalik batu hitam tempat Ki Dharma duduk dulu. Cermin itu adalah hanya kau yang dapat melihatnya. Setelah itu kau gunakan belati itu untuk melawan Ki Dharma. Jangan pernah melawan makhluk yang menggiring kalian ke tempat ini. Mereka akan musnah dengan sendirinya jika Ki Dharma telah kau kalahkan. Makhluk itu buta dan tuli. Ia hanya mempunyai indra penciuman yang sangat tajam. Untuk dapat melewatinya, kau tak boleh bernapas hingga jarak yang cukup jauh. Kau bisa menahan napasmu hingga 30 menit lamanya, aku telah mewariskan ilmuku padamu” suara itu terdengar dengan jelas ditelinga Fredy. Itu adalah suara Wira. Kini ia lebih tenang karena ia tahu apa yang harus ia lakukan.
            Perlahan Fredy mulai mendekati batu hitam yang pernah ia lihat dalam mimpinya. Ia segera menuju ke balik atu itu. Benar saja, ada sebuah cermin disana. Fredy mengambil cermin itu dan membawanya dengan tenang. Orang lain tak dapat melihat cermin itu, termasuk Ki Dharma dan Karja. Fredy segera berjalan menuju baris paling depan.
            Menurut mimpi yang ia alami, Ki Dharma dan Karja ada di sebelah kiri mereka. Namun tak ada sesosok makhluk pun yang mirip dengan mereka. Fredy terus mencuri-curi pandang, mencari keberadaan Ki Dharma dan Karja. Tak lama, ia melihat Ki Dharma dan juga Karja muncul dari kegelapan. Tidak. Mereka tidak berdua. Mereka bertiga dengan seorang gadis yang ia kenal, Elya. Siapa sebenarnya dia? Tanya Fredy dalam hati.
            Cahaya merah dari purnama mulai meluas dan ada satu cahaya yang memanjang menuju bumi, tepat ditengah lingkaran yang dikelilingi oleh api. Fredy harus meletakan cermin itu ditengah lingkaran tersebut. Cahaya itu semakin dekat menuju lingkaran itu. Fredy berlari menuju ke tengah, namun seseorang mencegah dengan menggenggam tangannya. Mang Kardi.
            “Kau tak bisa menggagalkan rencana kami” ucap kardi dengan ganas.
            Beberapa detik kemudian, Mang Kardi berubah menjadi Karja. Lalu siapa yang bersama Ki Dharma? Fredy menajamkan pandangannya untuk melihat sesosok laki-laki yang berada bersama Ki Dharma juga Elyta. Semua sudah jelas. Dia Frankie. Bagaimana mungkin? Fredy tak peduli dengan semuanya. Satu satunya hal yang harus ia lakukan adalah meletakan cermin itu tapat ditengah lingkaran api itu untuk menggagalkan rencana busuk Ki Dharma dan Karja.
            Fredy ingat bahwa ia mewarisi kesaktian Wira. Ia mencoba menggunakan kekuatannya. Dalam satu tendangan, Karja terpental jauh darinya. Ia menggunakan kesempatan itu untuk berlari menuju tengah lingkaran api itu. Namun makhluk-makhluk tadi mengepungnya. Fredy segera menahan napasnya dan semua makhluk itu terlihat bingung dan kembali ke tempat semula.
            “Kau tak bisa menggagalkan rencanaku” ucap Ki Dharma sombong. Ia segera mengacungkan tangannya dan kuku-kuku tajam tumbuh hanya dalam beberapa detik saja. Ki Dharma siap mencakar Fredy menjadi sobekan-sobekan manusia yang sangat kecil. Dengan Ki Dharma mulai menunjukan kuku-kuku tajamnya Frankie mulai berlari dan menahan Ki Dharma dan bertarung dengan sadisnya.
            “Lakukanlah, aku yang akan tangani iblis ini” ucap Frankie.
            “Baiklah” jawab Fredy pasti.
            “Dasar pengkhianat kau” ucap Ki Dharma pada Frankie dan segera menghantamnya.
            Fredy tak tega jika ia hharus melihat Frankie melawan iblis ini seorang diri. Namun ia juga harus mengagalkan cahanya itu menembus bumi. Cahaya itu semakin dekat dengan lingkaran itu. Fredy berlari dan Karja kembali mencegahnya.
            “Pergilah, aku yang akan tangani iblis yang satu ini” ucap Elyta.
            “Elyta. Bagaimana mungkin?” tanya Fredy.
            “Sudah, percayakan padaku” jawab Elyta pasti.
            Elyta, seorang gadis cantik dan anggun kini berkelahi melindingi manusia di bumi. Sementara Fredy terus berlari menuju tengah lingkaran api itu. Ia melompati api yang sangat tinggi itu. Tak ada rasa panas sedikit pun. Fredy langsung mengarahkan cerminnya menuju langit. Saat cahaya itu mengenai cermin yang dipegangnya, terasa sangat berat dan sesak entah karena apa. Dalam waktu sekitar 3 menit, Fredy menahan cermin ini untuk memantulkan cahaya itu kembali ke langit.
            Cahaya itu kembali menuju langit dan membulat di langit dan musnah dalam seketika. Terlihat Ki Dharma sangat murka dan menghempas Frankie sejauh beberapa meter dan berlari menuju Fredy.
            “Kau bantu Elyta, aku yang akan mengambil alih iblis ini” ucap Fredy pasti.
            Frankie mengangguk tanda mengerti dan embantu Elyta untuk melawan Karja.
            Ki Dharma mulai menyerang Fredy tanpa henti. Seolah singan yang lapar, ia terus menyerang tanpa ampun. Hampir saja Fredy kewalahan dengan serangan Ki Dharma. Ia menggunakan semua kekuatan yang diwariskan oleh Wira. Tampak Ki Dharma berlari menuju batu hitam tempat pertapaanya dan menciptakan sebuah senjata seperti cahaya yang mematikan. Fredy melompat setingginya dan melayang di udara. Mata Ki Dharma terpejam dan mulai melakukan ritual untuk memanggil makhluk yang pernahFredy lihat dulu dalam mimpinya. Fredy tak menyianyiakan kesempatan ini, ia menjatuhkan dirinya dengan sangat cepat dan mengeluarkan belati yang dulu igunakan Ki Dharma untuk membunuh Wira. Fredy tepat terjatuh di belakang Ki Dharma dan belati itu menusuk punggung kiri Ki Dharma.
            “Arghhhhhhhhh” terdengar Ki Dharma mengerang kesakitan dan perlahan jatuh dan tersungkur di tanah. Tak lama, makhluk-makhluk yang menggiring mereka kesana hilang, begitu pun Karja. Kini hanya ada satu iblis, Ki Dharma.
            Frankie dan Elyta segera menghampiri Fredy dan saling bertukar pandang dan melengkungkan senyum puas.
            Sebuah cahaya biru, hijau dan putih muncul dan berhenti tepat di depan mereka. Cahaya biru tepat berada di depan Fredy, cahaya hijau di depan Frankie dan cahaya putih di depan Elyta. Perlahan cahaya itu mulai menjelma sosok-sosok seperti manusia, dan yang berasal dari cahaya biru adalah Wira.
            “Terimakasih, kalian telah membantu menuntaskan tugas kami” ucap Wira.
            Fredy, Frankie juga Elyta tampak memberi hormat pada 3 orang yang ada di depan mereka.
            “Apakah kalian merasa bingung dengan kemunculan kami?”tanya Wira.
            Tak ada satu kata pun yang terucap dari mulut Fredy, Frankie juga Elyta.
            “Kami adalah leluhurmu. Kau Fredy, kau adalah keturunanku, Wira. Dan kau Frankie, kau adalah keturunan adikku, Sakti. Dan Elya, kau adalah keturunan istriku, Larasati. Sekarang tugas kami telah selesai, dan tugas kalian pun telah selesai. Kami akan pergi menuju alam kami dan membawa jasad Ki Dharma” ucap Wira.
            “Gunakan ini untuk menyadarkannya dari ilusi. Sebelum kalian menyadarkannya, kalian harus membawanya kembali ke perkemahan. Setelah semua kembali ke perkemahan, lemparkan benda ini ke udara dan mereka akan sadar dengan sendirinya” Larasati memberikan sebuah bungkusan kecil yang berisi seperti tepung.
            3 orang leluhur itu melingkari jasad Ki Dharma dan mulai kembali menjadi cahaya dan membawa jasad itu pergi.
            Setelah 3 leluhur mereka pergi, 3 orang penerus dari leluhur tadi segera membawa semua orang yang masih terjebak dalam ilusi Ki Dharma untuk kembali ke perkemahan. Setelah mereka semua sampai, Elyta melemparkan bungkusan tadi dan bungkusan itu pecah di langit. Bubuk yang tersimpan di dalam bungkusan tadi menyebar dan satu per satu mereka semua sadar.
            Seperti takterjadi apa-apa, mereka melanjutkan acara mereka hingga usai. Mereka berkemah dan bergembira selama beberapa hari tanpa gangguan ataupun teror dari iblis. Semua benar-benar seperti tak terjadi apa apa. Dan Mang Kardi adalah salah satu dari ilusi Ki Dharma. Semenjak kejadian itu, tak ada seorang pun yang menanyakan Mang Kardi. Dan mereka tidak mengenal Mang Kardi.
            Fredy menjalankan rencana awalnya, mengungkapkan persaannya pada Elyta dengan bantuan Rino juga Frankie. Hingga akhirnya Fredy dan Elyta hidup bersama selamanya, seperti Wira dan Larasati.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts

Subscribe